Rabu, 21 Desember 2011

HAMBATAN KOPERASI

Gerakan Credit Union yang berbasiskan ekonomi kerakyatan, secara nasional masih terkendala dengan keberadaan Undang-Undang No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang dalam beberapa hal berbeda dengan prinsip-prinsip Credit Union yang diadopsi dari prinsip-prinsip koperasi universal. Sebagai akibatnya masih banyak Credit Union di Indonesia tidak menggunakan badan hukum koperasi. Berdasarkan Undang Undang Perkoperasian, Credit Union sering diklasifikasikan sebagai lembaga keuangan mikro informal atau bahkan illegal (Kusumajati, 2009). Namun demikian Credit Union tetap tumbuh dan berkembang berdasarkan prinsip-prinsip koperasi universal yang diadaptasi pada nilai-nilai lokal, terbangun dalam dan terkait dengan jaringan kelembagaan lokal, dan didukung oleh struktur kelembagaan Credit Union Global yang relatif kuat dan mapan. Bagi gerakan koperasi Credit Union, Undang-Undang memang bukan hal yang paling menentukan. Sebab dalam diri koperasi Credit Union sudah ada regulasi-diri yaitu nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang berlaku global. Sebagai bukti empiris walaupun tidak memiliki Undang Undang Koperasi, di Norwegia dan Denmark, koperasi berkembang dengan baik bahkan di antaranya termasuk dalam kelompok Koperasi Global 300. Pada koperasi global 300 – untuk negara berkembang - jumlah koperasi terbanyak berasal dari Thailand (40), Paraguay (20), dan Kolombia (20). Suatu yang mengejutkan - tak ada satupun koperasi di Indonesia masuk pada kelompok ini. Bahkan negara tetangga seperti Malaysia terdapat 13 koperasi, Vietnam (10), dan Sri Lanka (5).
Data empiris di Bali menunjukkan bahwa tidak semua koperasi mengalami keberhasilan. Seperti diberitakan suarapembaruan.com (26/10/2010), dari 3.968 unit koperasi yang terdaftar di Bali, ternyata hanya 3.594 unit koperasi (90,57 persen) saja yang aktif beroperasi. Sedangkan 374 unit koperasi (9,43 persen) lagi dipastikan tidak operasi lagi atau tinggal papan nama. “Secara kelembagaan, 374 unit koperasi itu masih terdaftar. Namun, dalam prakteknya ratusan koperasi itu tidak aktif lagi karena anggotanya sudah tidak ada lagi.
RUU Perkoperasian tengah digodok di DPR dan ditetapkan dalam agenda legislasi pada tahun 2011. RUU Perkoperasian tersebut sebenarnya sudah diproses lebih dari 10 tahun. Secara “normatif” tujuan pemberlakuan Undang-Undang Perkoperasian diharapkan memberi status hukum koperasi, memfasilitasi kerja koperasi, dan memastikan bahwa koperasi-koperasi bekerja sesuai dengan prinsip koperasi yang berlaku universal atau sesuai dengan “jati dirinya”. Kerangka hukum Perkoperasian berfungsi mengatur organisasi dan kerja koperasi, melindungi dan memelihara karakter koperasi.
Namun, mencermati RUU Perkoperasian terdapat beberapa pasal yang kemungkinan berdampak melemahkan jati diri koperasi. RUU Perkoperasian cenderung kapitalistik (Suroto, 2011). Memang ada beberapa hal yang keluar dari jati diri koperasi seperti pada: pasal 1- 4 menyangkut definisi, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip; pasal 9 proses pendirian koperasi; pasal 26 – definisi anggota sebagai pengguna jasa; pasal 49 – dominasi peranan pengawas – lebih mirip pengawasan pada korporasi; pasal 54 – persyaratan pengurus; dan tidak adanya sanksi yang jelas. Kita berharap - RUU Perkoperasian - kelak setelah dibahas dengan seksama, disempurnakan dan akhirnya disyahkan menjadi Undang Undang - mampu menjamin lingkungan kondusif bagi jati diri koperasi tumbuh dan berkembang, memberikan kontribusi bagi pembangunan sosial ekonomi masyarakat yang lebih bermartabat.
Salah satu kendala utama yang dihadapi koperasi adalah banyak partai politik yang memanfaatkan koperasi untuk meluaskan pengaruhnya. Dan juga karena hambatan-hambatan yang di alami Indonesia di antaranya kesadaran masyarakat terhadap koperasi yang masih sangat rendah. Koperasi di Indonesia masih sangat lemah. Tidak ada perkembangan yang cukup tinggi. Boleh dikatakan koperasi di Indonesia berjalan di tempat. Beberapa faktor yang menyebabkan koperasi tidak bisa berjalan adalah dari segi permodalan. Faktor lain yang perlu kita perhatikan dalam mendukung perkembangan koperasi adalah manajemen koperasi itu sendiri. Banyak hambatan yang dihadapi koperasi dari segi manajemennya sendiri.

Selain itu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang semakin berkembang di sejumlah kota Indonesia maupun koperasi simpan pinjam, yang operasinya lebih pada kredit mikro.