Selasa, 01 Mei 2012

analisis ekonomi BBM ekspektasi dan kesejahteraan petani


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Salah satu karakter dimensi publik kebijakan ekonomi Indonesia adalah rendahnya keterhubungan (sekadar tidak menyebut “diskoneksi”) antara pengelolaan sisi permintaan dan sisi penawaran. Laju inflasi bulan Januari 2011 yang mencapai 0,89 persen (atau 7,02 persen dibanding Januari 2010 year on year) menjadi salah satu peringatan awal, karena kontribusi lonjakan harga pangan masih sangat signifikan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ISI

Pangsa kenaikan harga bahan pangan adalah 0,57 persen, yang sebenarnya didominasi oleh kenaikan harga beras; sedangkan pangsa kenaikan kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar hanya 0,12 persen. Beberapa komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga pada bulan Januari 2011 antara lain: beras, cabai rawit, ikan segar, cabai merah, bawang merah, minyak goreng, kentang, nasi dengan lauk, rokok kretek filter, ikan diawetkan, ketimun, cabai hijau, anggur, dan lain-lain. Pengendalian laju inflasi dari sisi permintaan oleh Bank Indonesia masih belum terhubung dengan target-target peningkatan produksi pangan, karena sekian macam persoalan di lapangan. Telah banyak dibahas bahwa insiatif di sisi moneter melalui pengaturan suku bunga dan nilai tukar sulit sekali menjadi efektif di lapangan. Karakter sektor perbankan di Indonesia umumnya amat lambat merespons signal-signal kebijakan moneter, terutama jika berhubungan dengan penyaluran kredit kepada aktivitas perekonomian dan lain-lain yang dianggap memiliki risiko cukup besar. Sementara itu, pengendalian inflasi dari sisi penawaran sangat berhubungan dengan karakter sistem produksi pangan, yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, gangguan produksi di tingkat usahatani, kapasitas manajemen stok logistik pangan pokok, dan sistem distribusi atau perdagangan komoditas dengan sekian macam persoalannya. Disamping itu, pengendalian laju inflasi di Indonesia tiba-tiba menjadi rumit dan politis karena kejutan-kejutan lain yang disebabkan oleh kenaikan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, sebagai bagian dari kelompok harga yang diatur (administered prices). Kebijakan dari sisi fiskal berupa pembebasan bea masuk impor beras dan komoditas lain melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/2011 sampai tanggal 31 Maret 2011 diperkirakan sulit menjadi stabilisator harga pangan. Disamping karena dimensi ekonomi politik yang cukup kental dari kebijakan fiskal tersebut, persoalan kusutnya sistem produksi pangan di dalam negeri tidak hanya dapat diselesaikan hanya melalui border policy seperti itu. Telah berkali-kali disampaikan bahwa pangkal persoalan sisi penawraan dari sistem produksi pangan justru terletak pada aspek nonharga, mulai dari persoalan infrastruktur pertanian, akurasi dan tekonologi budidaya pangan, penanganan panen dan pasca panen, dimensi agroindustri dan lain-lain (Lihat Arifin, 2010). Bahkan, tidak mustahil kebijakan fiskal pembebasan bea masuk tersebut nanti akan dianggap sebagai salah satu penyebab kejatuhan harga gabah di tingkat petani, yang telah memasuki musim panen di beberapa sentra produksi beras. Para elit pemerintahan seharusnya paham bahwa efektivitas suatu kebijakan publik tidak hanya tergantung pada aspek teknis-ekonomis prediksi dan simulasi yang dihasilkan, tetapi juga pada kemampuan komunikasi politik dan kapasitas birokrasi yang menjalankannya.


BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bekerjasama lebih erat lagi, tidak hanya di tingkat pusat, tapi juga sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah memiliki Tim Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat yang pertama dibentuk pada tahun 2005 dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di tingkat daerah, yang dibentuk pada tahun 2008.






SUMBER    : http://barifin.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar