BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Salah satu karakter dimensi publik kebijakan ekonomi
Indonesia adalah rendahnya keterhubungan (sekadar tidak menyebut “diskoneksi”)
antara pengelolaan sisi permintaan dan sisi penawaran. Laju inflasi bulan
Januari 2011 yang mencapai 0,89 persen (atau 7,02 persen dibanding Januari 2010
year on year) menjadi salah satu peringatan awal, karena kontribusi lonjakan
harga pangan masih sangat signifikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 ISI
Pangsa kenaikan harga bahan pangan
adalah 0,57 persen, yang sebenarnya didominasi oleh kenaikan harga beras;
sedangkan pangsa kenaikan kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar
hanya 0,12 persen. Beberapa komoditas pangan yang mengalami kenaikan harga pada
bulan Januari 2011 antara lain: beras, cabai rawit, ikan segar, cabai merah,
bawang merah, minyak goreng, kentang, nasi dengan lauk, rokok kretek filter,
ikan diawetkan, ketimun, cabai hijau, anggur, dan lain-lain. Pengendalian laju
inflasi dari sisi permintaan oleh Bank Indonesia masih belum terhubung dengan
target-target peningkatan produksi pangan, karena sekian macam persoalan di
lapangan. Telah banyak dibahas bahwa insiatif di sisi moneter melalui
pengaturan suku bunga dan nilai tukar sulit sekali menjadi efektif di lapangan.
Karakter sektor perbankan di Indonesia umumnya amat lambat merespons
signal-signal kebijakan moneter, terutama jika berhubungan dengan penyaluran
kredit kepada aktivitas perekonomian dan lain-lain yang dianggap memiliki
risiko cukup besar. Sementara itu, pengendalian inflasi dari sisi penawaran
sangat berhubungan dengan karakter sistem produksi pangan, yang sangat rentan
terhadap perubahan iklim, gangguan produksi di tingkat usahatani, kapasitas
manajemen stok logistik pangan pokok, dan sistem distribusi atau perdagangan
komoditas dengan sekian macam persoalannya. Disamping itu, pengendalian laju
inflasi di Indonesia tiba-tiba menjadi rumit dan politis karena kejutan-kejutan
lain yang disebabkan oleh kenaikan harga eceran bahan bakar minyak (BBM) di
dalam negeri, sebagai bagian dari kelompok harga yang diatur (administered
prices). Kebijakan dari sisi fiskal berupa pembebasan bea masuk impor beras dan
komoditas lain melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 241/2011 sampai
tanggal 31 Maret 2011 diperkirakan sulit menjadi stabilisator harga pangan.
Disamping karena dimensi ekonomi politik yang cukup kental dari kebijakan
fiskal tersebut, persoalan kusutnya sistem produksi pangan di dalam negeri
tidak hanya dapat diselesaikan hanya melalui border policy seperti itu. Telah
berkali-kali disampaikan bahwa pangkal persoalan sisi penawraan dari sistem
produksi pangan justru terletak pada aspek nonharga, mulai dari persoalan
infrastruktur pertanian, akurasi dan tekonologi budidaya pangan, penanganan
panen dan pasca panen, dimensi agroindustri dan lain-lain (Lihat Arifin, 2010).
Bahkan, tidak mustahil kebijakan fiskal pembebasan bea masuk tersebut nanti
akan dianggap sebagai salah satu penyebab kejatuhan harga gabah di tingkat
petani, yang telah memasuki musim panen di beberapa sentra produksi beras. Para
elit pemerintahan seharusnya paham bahwa efektivitas suatu kebijakan publik
tidak hanya tergantung pada aspek teknis-ekonomis prediksi dan simulasi yang
dihasilkan, tetapi juga pada kemampuan komunikasi politik dan kapasitas
birokrasi yang menjalankannya.
BAB
III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu
bekerjasama lebih erat lagi, tidak hanya di tingkat pusat, tapi juga sampai ke
tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah
memiliki Tim Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat yang pertama dibentuk
pada tahun 2005 dan Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di tingkat daerah,
yang dibentuk pada tahun 2008.
SUMBER : http://barifin.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar