Jumat, 27 April 2012

ASPEK TULISAN HALAL DARI SEGI HUKUM EKONOMI

BAB I 
PENDAHULUAN 

 1.1 LATAR BELAKANG 
      Seiring perkembangan zaman banyak orang bertanya-tanya tentang siapakah yang sebenarnya berhak menentukan “HALAL” atau tidaknya suatu bentuk makanan dan minuman? Sering kali orang menganggap yang berhak menentukan halal yaitu Kiayi, Pastor, Pendeta, Biksu, Raja atau bahkan Sultan. 

 BAB II 
PEMBAHASAN 

 2.1 PENGERTIAN HALAL 
       Halal artinya dibenarkan. Lawannya haram artinya dilarang, atau tidak dibenarkan menurut syariat Islam. Sedangkan thoyyib artinya bermutu dan tidak membahayakan kesehatan. Kita diharuskan makan makanan yang halal dan thoyyib, artinya kita harus makan makanan yang sesuai dengan tuntunan agama dan bermutu, tidak merusak kesehatan. Dalam ajaran Islam, semua jenis makanan dan minuman pada dasarnya adalah halal, kecuali hanya beberapa saja yang diharamkan. Yang haram itupun menjadi halal bila dalam keadaan darurat. Sebaliknya, yang halal pun bisa menjadi haram bila dikonsumsi melampaui batas. Pengertian halal dan haram ini sesungguhnya bukan hanya menyangkut kepada masalah makanan dan minuman saja, tetapi juga menyangkut perbuatan. Jadi ada perbuatan yang dihalalkan, ada pula perbuatan yang diharamkan. Pengertian makanan dan minuman yang halal meliputi: 
1. Halal secara zatnya 
2. Halal cara memprosesnya 
3. Halal cara memperolehnya, dan 
4. Minuman yang tidak halal I.

     Makanan yang halal secara zatnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Terlalu banyak bahkan hampir semua jenis makanan adalah halal dan dapat dikonsumsi. Sebaliknya terlalu sedikit jenis makanan yang diharamkan yang tidak boleh dikonsumsi. Hikmah pelarangan tersebut jelas Allah yang Maha Mengetahui. Adapun kebaikan dari adanya larangan tersebut jelas untuk kepentingan dan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Diantaranya, sebagai penguji ketaatannya secara rohaniah melalui makanan dan minumannya dan agar manusia tahu/mau bersyukur. Bangkai, darah dan babi secara tegas diharamkan oleh Allah, sesuai dengan ayat diatas. Selanjutnya semua binatang yang mati tidak melalui proses penyembelihan hukumnya haram, disamakan dengan bangkai. Termasuk binatang yang mati dalam pengangkutan sekalipun baru sebentar, tidka boleh ikut disembelih dan dikonsumsi oleh manusia. II. Makanan yang halal menurut cara prosesnya Makanan yang halal tetapi bila diproses dengan cara yang tidak halal, maka menjadi haram. Memproses secara tidak halal itu bila dilakukan: 
1. Penyembelihan hewan yang tidak dilakukan oleh seorang muslim, dengan tidak menyebut atas nama Allah dan menggunakan pisau yang tajam. 
2. Penyembelihan hewan yang jelas-jelas diperuntukkan atau dipersembahkan kepada berhala (sesaji) 
3. Karena darah itu diharamkan, maka dalam penyembelihan, darah hewan yang disembelih harus keluar secara tuntas, dan urat nadi lehar dan saluran nafasnya harus putus dan harus dilakukan secara santun, menggunakan pisau yang tajam. 
4. Daging hewan yang halal tercemar oleh zat haram atau tidak halal menjadi tidak halal. Pengertian tercemar disini bisa melalui tercampurnya dengan bahan tidak halal, berupa bahan baku, bumbu atau bahan penolong lainnya. Bisa juga karena tidak terpisahnya tempat dan alat yang digunakan memproses bahan tidak halal. 
5. Adapun ikan baik yang hidup di air tawar maupun yang hidup di air laut semuanya halal, walaupun tanpa disembelih, termasuk semua jenis hewan yang hidup di dalam air. 
6. Selain yang tersebut diatas, ada beberapa jenis binatang yang diharamkan oleh sementara pendapat ulama namun dasarnya masih mengundang perbedaan pendapat. III. 
        Halal cara memperolehnya Seorang muslim yang taat sangat memperhatikan makanan yang dikonsumsinya. Islam memberikan tuntunan agar orang Islam hanya makan dan minum yang halal dan thoyyib, artinya makanan yang sehat secara spiritual dan higienis. Mengkonsumsi makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal berarti tidak halal secara spiritual akan sangat berpengaruh negatif terhadap kehidupan spiritual seseorang. Darah yang mengalir dalam tubuhnya menjadi sangar, sulit memperoleh ketenangan, hidupnya menjadi beringas, tidak pernah mengenal puas, tidak pernah tahu bersyukur, ibadah dan doanya sulit diterima oleh Tuhan. IV. Minuman yang tidak halal Semua jenis minuman yang memabukkan adalah haram. Termasuk minuman yang tercemar oleh zat yang memabukkan atau bahan yang tidak halal. Yang banyak beredar sekarang berupa minuman beralkohol. Kebiasaan mabuk dengan minum minuman keras itu rupanya sudah ada sejak lama dan menjadi kebiasaan oleh hampir semua bangsa didunia. Pada jaman nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab juga mempunyai kebiasaan ini. Nabi memberantas kebiasaan jelek ini secara bertahap. Pertama, melarang orang melakukan sholat selagi masih mabuk (QS 4:34). Berikutnya menyatakan bahwa khamar atau minuman keras itu dosanya atau kejelekannya lebih besar dari manfaatnya atau kebaikannya (QS 2:219). Terakhir baru larangan secara tegas, menyatakan bahwa minuman keras itu adalah perbuatan keji, sebagai perbuatan setan, karena itu supaya benar-benar dijauhi (QS 5:90) Kehidupan manusia memiliki hubungan erat dengan makanan dan minuman. Ia bahkan berkait kelindan dengan pasokan tenaga dan semangat kerja. Hal ini dapat digambarkan dalam Alquran surat Al-Muminun ayat 51 yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengonsumsi makanan yang baik dan mengerjakan amal saleh. Menurut Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Ibrahim, keterangan dalam surat tersebut menunjukkan adanya hubungan yang erat antara makanan dan minuman dengan amal saleh. Oleh karenanya, agar umat Islam dapat mengerjakan amal saleh dengan baik, maka makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya haruslah yang statusnya juga baik dan halal. Seorang Muslim, mesti memiliki kehati-hatian terhadap makanan serta minuman yang mereka konsumsi. ”Apalagi industri makanan kini semakin berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Beragama produk baru yang bermunculan dan mesti mendapatkan perhatian atas status kehalalannya,” ujarnya. Produk-produk baru tersebut, kata dia, telah menembus batas-batas negara dan sebagian besar umat Islam menjadi konsumen atas barang-barang itu. Dalam menghadapi produk-produk ini, umat Islam tak dapat bersikap netral. ”Umat Islam harus mampu merujuk pada etika Islam yang terkait dengan makanan dan minuman,” tambah Amwar. Selain makanan dan minuman yang mereka konsumsi dihasilkan dari usaha yang halal, bahan-bahan pembuatnya juga harus berasal dari bahan yang status kehalalannya jelas pula. ”Alquran telah meneguhkan hal ini melalui Surat Al Baqarah ayat 168, yang memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” Anwar menyatakan, penerapan kewajiban ini menuntut umat Islam untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi. Sesuai prinsip hukum Islam, katanya, maka apabila suatu kewajiban hanya dapat dilakukan melalui wasilah tertentu maka hukum melaksanakan wasilah tersebut wajib pula. Dengan demikian, hukum mengetahui bahan-bahan dari sebuah produk yang akan dikonsumsi atau digunakan telah menjadi kewajiban umat Islam. Namun dalam menjalankan kewajiban ini, perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak baik produsen, pemerintah, maupun masyarakat agar umat Islam sebagai konsumen mendapatkan perlindungan. Ia menuturkan, dalam hal ini produsen memang menjadi pihak yang sangat bertanggung jawab. Sebab produsenlah yang mengetahui dengan pasti rahasia produknya, termasuk bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya. ”Mereka mestinya menggunakan bahan halal dalam proses produksinya sebagai tanggung jawab sosial.” Mereka pun mesti memasang label pada kemasan yang menerangkan kandungan dalam produknya. Bagi umat Islam, ketidakhalalan produk merupakan cacat hukum. Menurut Anwar hal tersebut bisa dikaitkan dengan keputusan menteri agama dan menteri kesehatan nomor 427/MEN KES/VIII/1985 nomor 68 tahun 1985 tentang pencantuman tulisan halal pada label makanan. Ia menjelaskan, pada pasal 2 dinyatakan bahwa produsen yang mencantumkan tulisan halal pada label atau penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Dengan demikian, produsen memiliki tanggung jawab yang besar atas kehalalan produknya pada konsumen yang beragama Islam. Di sisi lain, kata dia, MUI pun selama ini telah memberikan peluang bagi para produsen untuk mengajukan sertifikasi halal. ”Pihak MUI akan melakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan hingga proses produksi untuk meyakinkan bahwa produk tersebut benar-benar berstatus halal,” katanya. Dengan begitu, umat Islam sebagai konsumen terbesar akan merasakan keamanan dalam mengonsumsi sebuah produk baik makanan maupun minuman. 

 BAB III 
PENUTUP 

 3.1 KESIMPULAN 
Jadi keingin tahuan masyarakat yang tinggi akan kehalalan makanan dan minuman yang di konsumsinya mendorong pemerintah semakin selektif untuk memberikan label halal pada setiap makanan dan minuman.   

SUMBER : http://www.halalguide.info/2009/04/14/penting-menelusur-kehalalan-produk/ http://www.halalmuibali.or.id/?p=56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar