Jumat, 13 April 2012

Rencana Kenaikan BBM dari Sudut Ekonomi

BBM hampir selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Apalagi pemerintahbaru-baru ini sempat menuda keinginan untuk menaikkan harganya. Salah satu kelemahan dari pemerintah kita adalah tidak dimilikinya strategi energi. Prof Wibisono Hardjopranoto, seorang pakar ekonomi berpendapat, “seharusnya pemerintah memiliki perencanaan strategis (strategic formulation) untuk mengatasi ketergantungannya pada BBM. Walaupun sekitar tahun 2005-2006 yang lalu, pemerintah sudah sempat membicarakannya namun strateginya tidak jelas apalagi realisasinya. Para menteri seharusnya dapat memprakirakan kebutuhan akan pengembangan energy ini. ”Pengembangan ini memerlukan perencanaan pengadaan sarana transportasi dan infrastruktur yang baik, sehingga tidak berkemelut dan fokus pada motif dan kepentingan politik semata dan memang ditujukkan untuk kepentingan rakyat.

Ketika dihadapkan tentang pernyataan akan adanya BLT atau yang sekarang disebut sebagai BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), Prof Wibi berkomentar bahwa masyarakat kita telah memiliki persepsi yang salah. BLSM seharusnya tidak dikaitkan dengan isu tentang subsidi BBM. Sistem ekonomi kita adalah bukan sistem ekonomi pasar, dalam pengertian free market melainkan social market atau ekonomi pasar-sosial. Walaupun bersifat sosial, ekonomi Indonesia berkarater ekonomi pasar, sehingga dalam persaingan pasar pastilah ada pelaku “yang kalah” dan “yang menang”. Bagi pelaku pasar yang kalah dalam bersaing pemerintah harus memberikan santunan karena pasar sendiri tidak dapat dan tidak mungkin melakukannya.

Ini adalah kondisi riil yang mengharuskan pemerintah memberikan santunan kepada yang kalah dan sama sekali tidak dikaitkan dengan BBM. Ada tidaknya kasus BBM, pemerintah harus tetap memberikan santunan dalam bentuk keberpihakan (melakukan affirmative action). Santunan ini dapat dikategorikan dalam dua bagian. Pertama, santunan yang benar-benar diberikan kepada mayarakat yang dianggap “extremely poor” hingga makan pun tak sanggup. Untuk mayarakat seperti ini harusnya tidak perlu diberikan persyaratan untuk menerima bantuan. Untuk kalangan seperti ini, tidak tepat bila ada orang yang mengatakan “Jangan berikan ikan namun berikan kail”. Karena mereka menghadapi masalah hidup dan mati. Sedangkan bagi mereka yang termasuk dalam kategori “near poor” boleh dipertimbangkan untuk “memberikan kail” dan tidak “memberiikan” agar ada proses pembelajaran dalam program tersebut.

Bagi kategori kedua ini pemberian santunan lebih baik diwujudkan dalam program-program pembangunan infrastruktur yang bersifat padat karya. Dampak positifnya, selain menurunkan angka pengangguran juga akan mempunyai multiplier effect untuk meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat bawah.

Tidak benar bila kenaikan ini dianggap sebagai peyelamatan ekonomi. APBN kita seharusnya bisa lebih diefektifkan terutama dalam sector pajak jika para “Gayus” yang masih berkeliaran dapat dibersihkan.Tapi apakah sumber tersebut cukup? Pertanyaan tersebut memang masih diperdebatkan. Apabila pemerintah berkomitmen, sumber pendapatan masih dapat dicari. Jika kita lihat dari proporsi angka utang kita sekarang tidak sampai 30% terhadap PDB (produk domestic bruto) pemerintah mempunyai keleluasaan dalam kebijakan pembiayaan APBN. Indonesia dapat dikatakan stabil apabila dibandingkan dengan negara-negara Eropa seperti Yunani, Spanyol, Portugal, dan Italia yang memiliki problem utang yang lebih hebat. Bahkan Jepang yang dapat dikatakan sehat memiliki utang dengan proporsi 220% di atas PDB. Ini berkaitan dengan kelihaian pemerintah untuk menutupi deficit pembiayaan APBN. Selama ini pemerintah hanya berfokus pada penurunan utang. Tidak selamanya memiliki utang adalah buruk. Utang jika dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan membawa dampak yang positif bagi kesejahteraan masyarakat, asal tidak dikorupsi. Dari segi alokasi, pengeluaran yang berada pada skala prioritas terendah harus dipangkas, misal pelaksanaan kunjungan keluar negeri.

Rencana kenaikan ini sudah salah dari awal karena perencanaan UU yang tidak matang. “Awalnya DPR membuat keputusan untuk tidak menaikkan BBM. Seharusnya permasalahan mengenai kenaikan ini tidak perlu dibicarakan lagi pada 2012. Dampaknya masyarakat segera mengambil antisipasi terhadap kenaikan ini. Jika harga sudah naik, apakah mudah untuk menurukan kembali? Pastisulit!”


Sumber : http://www.ubaya.ac.id/ubaya/interview_detail/51/Kenaikan-BBM-Bukan-Penyelamat-Ekonomi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar