Senin, 23 April 2012
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Praktek monopoli berbeda dengan perbuatan curang, dan keduanya dilakukan oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Hukumonline memuat berita berjudul "Akomodasi Asing, Proses Legislasi Abaikan Kepentingan Bangsa Sendiri" (18 Juni 2003). Antara lain isi berita tersebut adalah menurut Romli Atmasasmita, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), "dalam riwayat perundang-undangan di Indonesia, soal monopoli tidak pernah diatur, dan yang diatur adalah mengenai perbuatan curang".
Dari pernyataan tersebut, secara implisit dapat disimpulkan bahwa di Indonesia tidak ada perbuatan monopoli yang ada adalah perbuatan curang. Menurut Romli lagi, "monopoli berasal dari AS, dari common law sistem. Di sini diterapkan oleh KPPU, ternyata tidak jalan, malah ditertawakan," cetus Romli.
Menurut penulis, kalaupun masih ada yang menertawakan itu adalah hal yang wajar. Dikatakan wajar, karena orang yang bersangkutan masih belum memahami substansi UU No. 5/1999 tersebut secara benar. Memang, UU Antimonopoli berasal dari Amerika Serikat.
Namun, praktek monopoli secara alamiah dilakukan oleh para pelaku usaha di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Tulisan ini akan menjelaskan perbedaan antara monopoli dengan perbuatan curang. Dari penjelasan yang akan dipaparkan, akan dapat dilihat bahwa perbuatan monopoli dan perbuatan curang, keduanya ada di Indonesia.
Monopoli
Di dalam pasal 1 angka 1 UU Antimonopoli, monopoli didefiniskan "suatu penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha". Dapat diartikan bahwa monopoli ada jika satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai suatu produksi atau pemasaran barang atau penggunaan jasa tertentu. Dengan kata lain, monopoli ada jika hanya ada satu pelaku usaha yang memproduksi atau menjual suatu barang tertentu pada pasar yang bersangkutan.
Monopoli sebenarnya tidak dilarang sepanjang hal itu atas hasil usaha pelaku yang bersangkutan secara fair. Misalnya jika suatu pelaku usaha A menghasilkan (memproduksi) suatu produk baru di pasar, otomatis pelaku usaha tersebut sebagai monopolis. Yang dilarang oleh UU Antimonopoli adalah praktek monopoli yang mengakibatkan persaingan menjadi tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, pelaku usaha B ingin memproduksi barang seperti yang diproduksi pelaku usaha A, maka pelaku usaha A tidak boleh melakukan hambatan (entry barrier) supaya pelaku usaha B tidak dapat memproduksi barang yang sama tersebut. Selain itu, pelaku usaha A ada kemungkinan bisa melakukan hambatan masuk pasar, seperti jika pelaku usaha A mematenkan produk temuannya kepada dirjen paten dan pelaku usaha A mempunyai hak monopoli (biasanya) selama 20 tahun. Dan setelah itu, setiap orang boleh memproduksi barang yang sama. Itu pun harus mendapat lisensi dari pemegang hak paten tersebut.
Dari penjelasan singkat tersebut, kita sudah berbicara masalah hubungan antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain pada pasar yang bersangkutan. Hubungan yang normal di antara pelaku usaha, berperilaku secara wajar tidak melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku, maka terjadilah apa yang kita sebut dengan persaingan usaha yang sehat. Memang, definisi persaingan usaha yang sehat belum ada secara mutlak.
Di antara para ahli hukum persaingan, juga tidak ada kesepakatan pendapat mengenai definisi persaingan usaha yang sehat. Paraahli hukum persaingan mempunyai persepsi masing-masing jika memberikan definisi hukum persaingan yang sehat. Tetapi jika terjadi hubungan yang tidak wajar antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha lain melalui perilaku usahanya, dan hal ini menjadikan pasar menjadi terdistorsi, maka Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus memulihkan pasar yang terdistorsi tersebut menjadi sehat.
Pasar yang terdistorsi tersebut adalah suatu persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena itu, di pasal 1 angka 6 dalam UU Antimonopoli didefinisikan persaingan usaha tidak sehat. Menurut pasal 1 angka 6 tersebut, persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Dari ketentuan pasal 1 angka 6 tersebut, dapat kita simpulkan bahwa di dalam pasal 1 angka 6 diatur secara bersamaan masalah persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur (curang) dan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Sementara di dalam UU Antimonopoli itu sendiri tidak mengatur masalah persaingan usaha yang tidak secara tidak jujur (curang). Dengan demikian, kita akan membahas perbedaan antara persaingan usaha yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak jujur (curang) dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Perbuatan curang
Perbuatan tidak jujur (curang) adalah suatu tindakan penipuan subjektif yang dapat dilakukan oleh setiap pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses produksi suatu barang atau bentuk yang lain. Misalnya, dalam proses produksi suatu makanan disebutkan pada informasi komposisi makanan tersebut tertera tanpa bahan pengawet atau tanpa zat pewarna ternyata memakai bahan pengawet dan zat pewarna.
Contoh lain pelaku usaha retail tidak memberikan informasi yang jujur dalam hal pemotongan harga. Pelaku usaha tersebut membuat iklan super hemat dengan mengganti label harga barang-barang tertentu dengan label yang baru. Misalnya pada label dua liter minyak Bimoli yang sebetulnya harganya Rp8.750 ditulis Rp9.500 (seolah-olah harga lama), dicoret, dan ditambahkan "harga baru" Rp8.750 untuk memberi kesan seolah-olah ada potongan harga Rp750 dari harga lama. Iklan semacam ini dibuat untuk mengecoh dan menarik konsumen untuk membeli minyak tersebut.
Iklan tersebut dapat menarik perhatian konsumen karena adanya potongan harga, yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Atau, secara tertulis ada iklan potongan harga sebesar Rp750. Tetapi setelah dibayar di kasir, yang dihitung adalah harga lama. Dan kebanyakan konsumen tidak mengecek bon pembeliannya, apakah harga potongan ada atau tidak.
Cara seperti ini adalah salah satu tindakan yang tidak jujur yang merugikan konsumen. Hal ini merupakan suatu penipuan yang dilakukan secara tidak jujur (curang), yang mensyaratkan pembuktian yang subjektif. Hal-hal semacam ini tidak berhubungan dengan persaingan antara pelaku usaha yang satu dengan pesaingnya.
Tentu saja akibat perbuatan yang tidak jujur tersebut mempunyai dampak kepada pelaku usaha pesaingnya, tetapi hal itu secara tidak langsung. Misalnya karena adanya iklan potongan harga tersebut, konsumen menjadi berlomba-lomba membeli minyak tersebut dan membeli barang kebutuhan yang lain. Karena konsumen sudah sekalian belanja di toko retail tersebut, akibatnya pesaingnya mengalami penurunan omset penjualan.
Tetapi akibat langsung dari tindakan tidak jujur tersebut adalah dialami langsung oleh konsumen, ditipu. Dan hal ini dapat dikenakan UU Konsumen atau pasal 382 bis KUHP dan pasal 1365 KUH Perdata. Menurut pasal 382 bis KUPHP istilah "persaingan usaha adalah persaingan yang dilakukan secara curang" dengan kata lain secara tidak jujur. Artinya, ini berkaitan dengan dengan "perbuatan penipuan".
Pelaku usaha atau seseorang yang melakukan perbuatan curang terhadap publik dalam menawarkan barangnya dapat dijatuhkan hukum penjara atau denda, kalau, pertama, terjadi satu perbuatan yang bersifat menipu. Kedua, karena perbuatannya menimbulkan kerugian bagi pesaingnya dan pembeli atau konsumen. Dalam kasus seperti ini, adanya kasus penipuan atau perbuatan curang haruslah terbukti.
Berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata segala perbuatan yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah untuk mengganti kerugian yang diderita orang atau pelaku usaha tersebut. Jadi persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan secara curang harus terbukti secara subjektif dan akibatnya merugikan konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung.
Persaingan usaha tidak sehat
Tidak ada kesatuan pendapat di antara ahli hukum kartel mengenai definisi persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, (mungkin) di dalam UU Antimonopoli ditetapkan definisi persaingan usaha tidak sehat. Definisi tersebut terlalu sempit, karena hanya menjangkau persaingan usaha antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa tertentu yang dilakukan secara tidak jujur atau melawan hukum saja.
Padahal secara sederhana, persaingan usaha tidak sehat terjadi pada pasar yang bersangkutan, apabila tindakan pelaku usaha tertentu menghambat terwujudnya persaingan usaha yang sehat. Jadi pasar menjadi terdistorsi, baik itu dalam proses produksi atau pemasaran barang, maupun hambatan masuk pasar bagi pelaku usaha (baru). Tindakan pelaku usaha yang mendistorsi pasar akibatnya nyata langsung dirasakan oleh pesaingnya maupun pendatang baru.
Oleh karena itu, perilaku pelaku usaha tersebut harus dilarang melalui peraturan perundang-undangan secara normatif untuk membatasi perilaku pelaku usaha melakukan persaingan usaha yang tidak sehat. Larangan ketentuan undang-undang adalah larangan melakukan tindakan tertentu secara imperatif. Larangan imperatif biasanya diikuti dengan kata-kata "dilarang atau tidak boleh".
Contoh ketentuan seperti ini banyak ditemukan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jika pelaku usaha melanggar ketentuan-ketentuan KUHP langsung dijatuhi hukuman tertentu. Misalnya seorang mencuri barang milik orang lain, dan dijatuhi hukuman penjara tiga tahun.
Di dalam UU Antimonopoli, ada ketentuan yang menggunakan kata-kata "dilarang", tetapi tidak otomatis dijatuhkan hukuman, karena ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku usaha yang bersifat rule of reason. Artinya, perlu penelitian lebih jauh, apakah tindakan pelaku usaha tertentu dapat mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan. Dan kalau tidak, ketentuan UU Antimonopoli tidak akan diterapkan, meskipun pelaku usaha tersebut nyata-nyata menjadi besar dan semakin kuat pada pasar yang bersangkutan.
Misalnya, dalam hal merjer, perusahaan A dengan perusahaan B melakukan merjer, dan sudah pasti tujuan merger tersebut untuk meningkatkan kemampuan perusahaan, baik kemampuan keuangan, meningkatkan pangsa pasar maupun meningkatkan sinerginya dan meningkatkan pelayanannya terhadap konsumen. Perusahaan hasil merjer tidak dapat dilarang, jika perusahaan hasil merjer tidak mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Contoh lain, tiga pelaku usaha kecil membuat perjanjian oligopsoni, yaitu perjanjian pembelian suatu barang tertentu. Tanpa adanya perjanjian tersebut pelaku usaha kecil tersebut secara sendiri-sendiri tidak mampu membeli suatu barang tertentu dari produsen atau pemasok tertentu. Melalui perjanjian tersebut mereka mampu membeli sejumlah barang tertentu dari produsen atau pemasok tertentu lebih murah, karena mereka dapat membeli barang dalam jumlah besar.
Dengan demikian, ketiga pelaku usaha kecil tersebut dapat bersaing dalam menjual barangnya dengan pelaku usaha yang lebih besar. Perjanjian semacam ini tidak dikenakan pasal 13 ayat 1, karena tidak mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan.
Memang ada juga ketentuan UU Antimonopoli yang bersifat per se. Artinya begitu pelaku usaha melanggar ketentuannya, langsung dilarang dan dikenakan sanksi. Misalnya, jika pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lain melakukan perjanjian penetapan harga barang (price fixing), maka pelaku usaha tersebut langsung dikenakan pasal 5 ayat 1. Walaupun tidak terjadi persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan, karena akibat perjanjian tersebut langsung dirasakan oleh konsumen atau pelanggan.
Jadi dari penjelasan di atas, terdapat perbedaan yang mendasar antara tindakan monopoli dengan perbuatan curang. Monopoli tidak hanya ada di negara Barat (Amerika) saja, tetapi juga di Indonesia. Praktek monopoli itu sendiri pada masa orde baru berlangsung merajalela. Oleh karena itu, timbullah pemikiran pada tahun 1989 bahwa Indonesia membutuhkan UU Antimonopoli.
Memang pada waktu itu pemikiran itu tidak mendapat dukungan dari pemerintah Orde Baru, karena merasa belum waktunya untuk mengatur masalah monopoli (konglomerat). Namun, para ilmuwan yang concern tehadap persaingan usaha di Indonesia tetap berupaya membuat rancangan undang-undang antimonopoli, seperti yang dibuat oleh Lembaga Penelitian dan Pengkajian PDI, RUU Antimonopoli yang dikeluarkan Departemen Keuangan yang diprakarsai oleh Normin Pakpahan, serta yang dibuat oleh Departemen Perindustrian bekerjasama dengan FH Universitas Indonesia.
Selain itu, masalah larangan monopoli sudah diatur di dalam pasal 7 UU No. 5/1984 tentang Perindustrian. Pasal 7 tersebut pada intinya memberikan instruksi kepada pemerintah untuk: (1) mewujudkan perkembangan industri yang lebih baik, secara sehat dan berhasil guna; (2) mengembangkan persaingan yang baik dan sehat serta mencegah persaingan yang tidak jujur; (3) mencegah pemusatan atau penguasaan inustri oleh satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah monopoli juga masalah yang dilarang di Indonesia dalam perundang-undangannya. Kalaupun dalam pembuatan UU Antimonopoli yang sekarang ada kelemahan-kelemahannya, ini adalah merupakan kelemahan legislatif pada masa itu. Namun, keinginan untuk memiliki UU Antimonopoli sudah lama diinginkan oleh masyarakat Indonesia.
Monopoli dan perbuatan curang adalah dua hal yang berbeda, walaupun ketentuan untuk mengaturnya sudah ada sejak dulu. Ketentuan ini tersebar di berbagai undang-undang yang dalam pelaksanaannya tidak efektif. Kehadiran UU Antimonopoli yang sekarang diharapkan dapat memberikan persaingan yang sehat, fair, dan kondusif, serta diimplementasikan secara efektif oleh KPPU sebagi lembaga pengawas persaingan usaha.
Sumber : http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=65
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar